Dating Violence - Kekerasan Dalam Pacaran
Akhirnya gue bisa bersantai ria di depan laptop seharian ini setelah 2 hari yg lalu mengurus pembuatan Surat Keterangan Lulus dan pendaftaran wisuda. Banyak yg sudah gue lalui sejak September lalu seperti belajar buat sidang, menghadapi banyak pertanyaan dan kritik dari penguji, lulus sidang, revisi skripsi dan jurnal, minta ttd pembimbing penguji dan dekan buat skripsi, ngurus hardcover buat 4 buah skripsi, nyerahin skripsi beserta cd nya ke perpustakaan, beserta ngurus SKL dan wisuda. Kali ini gue posting di blog bukan untuk menjabarkan itu semua, melainkan ingin memposting berbagai artikel mengenai kekerasan dalam berpacaran (dating violence). Tiba2 aja gitu gue kepikiran dan tertarik untuk membahasnya. Gue bikin postingan ini bukan karena gue menjadi korbannya tapi karena gue prihatin dengan masalah ini. Kebanyakkan yang diangkat yakni kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) namun kekerasan dalam pacaran belum terlalu diekspos maka dari itu gue tertarik untuk membahasnya. Banyak orang yg tidak cerita ke keluarga atau temannya jika mengalami kekerasan dari pacarnya..ada yg takut, masih cinta dengan kekasihnya, dan lain sebagainya. Tanpa membuang waktu lebih jauh gue akan langsung mulai.
Dikutip dari http://infokdp.doctornjoh.com/ (rekomen banget buat dibaca)
KDP atau dikenal juga dengan Dating violence adalah tindakan atau ancaman untuk melakukan kekerasan, yang dilakukan salah seorang anggota dalam hubungandating ke anggota lainnya (Sugarman & Hotaling dalam Krahe, 2001). Selain itu, menurut The National Clearinghouse on Family Violence and Dating Violence (2006), dating violence adalah serangan seksual, fisik, maupun emosional yang dilakukan kepada pasangan, sewaktu berpacaran. The American Psychological Association (dalam Warkentin, 2008) menyebutkan bahwa dating violence adalah kekerasan psikologis dan fisik yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam hubungan pacaran, yang mana perilaku ini ditujukan untuk memperoleh kontrol, kekuasaan dan kekuatan atas pasangannya.
Peneliti di The University of Michigan Sexual Assault Prevention and Awareness Center Burandt, Wickliffe, Scott, Handeyside, Nimeh & Cope (dalam Murray, 2007) mendefiniskan dating violence sebagai tindakan yang disengaja (intentional), yang dilakukan dengan menggunakan taktik melukai dan paksaan fisik untuk memperoleh dan mempertahankan kekuatan (power) dan kontrol (control) terhadap pasangan dating-nya. Lebih lanjut dikatakan bahwa perilaku ini tidak dilakukan atas paksaan orang lain, sang pelaku lah yang memutuskan untuk melakukan perilaku ini atau tidak, perilaku ini ditujukan agar sang korban tetap bergantung atau terikat dengan pasangannya.
Intinya sih, Kekerasan Dalam Pacaran (KDP) itu adalah segala macam perbuatan merugikan dalam sebuah hubungan yang dilakukan oleh pasangan kalian. KDP bisa berupa ancaman atau tindakan untuk melakukan kekerasan kepada salah satu pihak dalam hubungan berpacaran, yang mana kekerasan ini ditujukan untuk memperoleh kontrol, kekuasaan dan kekuatan atas pasangannya, perilaku ini bisa dalam bentuk kekerasan emosional, fisik dan seksual.
”Jatuh cinta tidaklah harus terluka, karena tujuan utamanya adalah bahagia bersama“
Jenis-jenis KDP :
Mental
Kekerasan Mental adalah sikap verbal dan emosional berupa ancaman yang dilakukan terhadap pasangannya dengan perkataan maupun mimik wajah. Misalnya kata kasar, larangan, intimidasi, mengumpat, menuduh, dll.
Fisik
Kekerasan fisik adalah perilaku yang mengakibatkan pacar terluka secara fisik, seperti memukul, menampar, menendang dan sebagainya (Murray, 2007). Wanita juga melakukan kekerasan tipe ini dengan pasangannya akan tetapi konsekuensi fisik yang dihasilkan tidak begitu berbahaya seperti yang dilakukan pria terhadap wanita.
Materi
Kekerasan materi adalah bagian lain dari kekerasan mental. Kekerasan materi lebih kepada meminta pasangan untuk mencukupi segala keperluan hidupnya (memanfaatkan pasangan dalam kebutuhan ekonomi) , seperti meminta uang dan barang.
Seksual
Kekerasan seksual adalah pemaksaan untuk melakukan kegiatan atau kontak seksual sedangkan pasangan mereka tidak menghendakinya (Murray, 2007). Pria lebih sering melakukan tipe kekerasan ini dibandingkan wanita.
"Tak perlu erat digenggam karena takut menghilang, cinta sejati akan terikat dengan sendirinya"
Hukum kekerasan dalam pacaran
Memang belum ada pasal khusus untuk menjerat pelaku tindak kekerasan dalam pacaran. Namun bukan berarti pelaku tidak bisa dibuktikan bersalah dimata hukum.
Jika kalian masih di bawah umur 18 tahun, maka kalian masih dikategorikan sebagai “anak”. Pelaku penganiayaan anak dapat dijerat dengan Pasal 80 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang berbunyi:
“Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah)”
Tapi kalau kamu sudah 18 tahun atau lebih, kamu sudah boleh menuntut atas dasar penganiayaan yang diatur dalam Bab XX Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Dalam Bab XX KUHP tersebut ada 3 macam penganiayaan, yaitu:
1. Penganiayaan biasa (Pasal 351 KUHP),
2. Penganiayaan ringan (Pasal 352 KUHP), dan
3. Penganiayaan berat (Pasal 354 KUHP).
Pasal 351 KUHP (penganiayaan berat)
1. Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
2. Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
3. Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
4. Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.
5. Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.
Pasal 352 KUHP
1. Kecuali yang tersebut dalam pasal 353 dan 356, maka penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian, diancam, sebagai penganiayaan ringan, dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Pidana dapat ditambah sepertiga bagi orang yang melakukan kejahatan itu terhadap orang yang bekerja padanya, atau menjadi bawahannya.
2. Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.
Pasal 354 KUHP (penganiayaan berat)
1. Barang siapa sengaja melukai berat orang lain, diancam karena melakukan penganiayaan berat dengan pidana penjara paling lama delapan tahun.
2. Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian. yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun.
Jenis perbuatan yang berbeda juga bisa dilaporkan dengan pasal-pasal berikut :
– pasal 351-358 KUHP untuk penganiayaan fisik,
– pasal 289-296 tentang pencabulan jika mengalami pelecehan seksual,
– pasal 281-283, pasal 532-533 untuk kejahatan terhadap kesopanan, dan
-pasal 286-288 untuk persetubuhan dengan perempuan di bawah umur.
“Pokoknya kamu ngga boleh dekat sama teman laki-laki kamu.. aku ngga suka.. awas kalau sampai aku tahu ya”
”Gitu aja ngga bisa, bodoh banget sih kamu”
”Aku laki-laki, dan kamu perempuan..seharusnya perempuan itu tunduk di bawah laki-laki. Kalau kamu ngga ikut apa yang aku bilang, lebih baik kita putus”
Saat berpacaran, seharusnya kita merasa bahagia. Namun ada hubungan berpacaran yang tidak berjalan dengan mulus sehingga kalimat bernada merendahkan atau mengancam seperti kalimat di atas kerap kali diucapkan oleh pacar kepada kita. Mungkin tidak hanya melalui ucapan, namun pacar juga melakukan tindakan kasar saat kita tidak melakukan sesuatu sesuai keinginannya. Lebih jauh lagi, pacar memaksa kita melakukan hubungan seksual yang tidak kita inginkan. Jika hubungan pacaran seperti ini tentu saja tidak membuat kita merasa bahagia, melainkan justru membuat kita merasa ketakutan dan tidak berdaya.
Salah seorang remaja yang pernah saya temui mengungkapkan bahwa pacarnya seringkali memeriksa handphone-nya, bahkan mencetak catatan pemakaian teleponnya. Jika pacarnya menemukan ada pesan singkat dari laki-laki, maka pesan itu akan dihapus. Jika pacarnya menemukan nomor asing di hp-nya, maka ia akan menelepon nomor tersebut. Remaja tersebut mengaku sangat kesal namun tidak dapat melawan. Pacarnya menyatakan bahwa hal ini dilakukan karena ia mau berhubungan dengan serius. Ya, memang terkadang kita tidak menyadari perilaku pacar ternyata sudah masuk ke dalam kekerasan karena dianggap bahwa itu adalah bentuk tanda cinta. Selain itu kita juga tidak sadar karena perilaku itu belum mengancam fisik kita atau kita tidak banyak tahu informasi mengenai kekerasan. Walaupun perilaku pacar belum mengancam fisik, tidak ada salahnya kita harus waspada dengan bentuk-bentuk kekerasan yang bisa dilakukan pacar terhadap kita.
Pada umumnya jenis kekerasan yang sering terjadi dalam hubungan pacaran dapat dibagi menjadi kekerasan psikis/verbal, fisik, serta seksual. Semua jenis kekerasan ini memiliki satu hal yang sama, yaitu memperlihatkan adanya KEKUATAN dan KONTROL pada pihak/pasangan yang menjadi pelaku kekerasan.
- Kekerasan psikis/verbalKekerasan ini betujuan menurunkan keberhargaan diri seseorang, menimbulkan ketakutan, perasaan tertekan dan tidak berdaya. Perilaku yang muncul cenderung menunjukkan kecemburuan, posesif, dan pengendalian seperti memanggil nama pasangan dengan sebutan negatif (bodoh, jelek), cemburu berlebihan, dihina, diancam, dilarang berhubungan dengan teman, menggunakan handphone untuk mengecek pasangan sesering mungkin. Bentuk kekerasan ini sering terjadi namun jarang disadari sebagai kekerasan.
- Kekerasan fisikKekerasan ini bertujuan untuk menyakiti pasangan dan mengakibatkan luka yang mudah terlihat. Biasanya kekerasan ini sudah terlebih dulu diawali dengan sejarah kekerasan psikis. Perilakunya diantaranya seperti mendorong, memukul, menjambak, menganiaya tubuh, mencekik, atau memaksa pasangan pergi ke tempat yang membahayakan dirinya.
- Kekerasan seksualKekerasan ini terlihat dari rabaan atau sentuhan pada tubuh yang tidak dikehendaki, ciuman yang tidak kehendaki, pelecehan seksual, pemaksaan fisik untuk melakukan hubungan seksual, atau mengancam akan meninggalkan pasangan dan memanipulasi dengan paksa untuk melakukan hubungan seksual.
Secara umum memang laki-laki lebih sering diketahui melakukan kekerasan ini dibandingkan perempuan. Namun jangan salah, pada kenyataannya perempuan juga bisa menjadi pelakunya lho. Kekerasan dalam hubungan pacaran ini perlu mendapatkan perhatian oleh kita, terutama remaja, yang mulai berpacaran. Kenapa? Karena ternyata mengakibatkan dampak negatif pada orang-orang yang menjadi korban. Dampak yang paling mudah terlihat oleh mata kita adalah dampak fisik berupa memar atau luka ringan hingga yang paling parah adalah kematian. Selain itu dampak yang juga bisa dialami adalah dampak psikologis. Dampak psikologis ini juga bermacam-macam, mulai dari turunnya kepercayaan diri kita, gangguan dalam emosi (mengalami emosi sedih dan marah), depresi, hingga mengalami reaksi stres pascatrauma. Oleh karena itu, untuk menghindari adanya rangkaian kekerasan dalam hubungan pacaran, teman-teman remaja dapat melakukan beberapa hal di bawah ini :
- Mengenali pasangan dan hubungan berpacaran yang sedang dijalaniMengenali siapa pacar kita merupakan cara yang paling tepat untuk menghindari kekerasan. Sebelum memutuskan berpacaran, sebaiknya ketahui perilaku calon pacar serta kebiasaan baik dan buruknya. Saat sudah berpacaran, kenali hubungan dengan menanyakan hal ini pada diri sendiri: Apakah pacar sangat pencemburu, terutama jika kamu tidak berada di sampingnya? Apakah ia sering menuntut kamu melakukan hal-hal yang tidak kita inginkan? Apakah pacar melarang kamu untuk berhubungan dengan teman-teman kita? Apakah emosi pacar naik turun dan mudah marah? Apakah kamu merasa ketakutan jika pacar anda marah? Apakah ia dengan mudah mengatakan hal negatif tentang kamu (misalnya: menyebut kamu bodoh, tidak berguna, dll)? Apakah pacar bisa tampil menjadi dua orang yang berbeda, sesaat ia memukul dan memaki, namun kemudian akan meminta maaf dan memohon pada kamu untuk kembali padanya? Apakah pasangan sering mengatakan bahwa ia melakukan itu semua demi kebaikanmu? Jika teman-teman menjawab YA pada satu atau lebih pernyataan tersebut, maka ada kemungkinan bahwa teman-teman berada dalam hubungan kekerasan.
- Bersikap asertif dengan menyatakan keberatan atau berani berkata ”Tidak” saat pasangan mulai memaksa melakukan sesuatu yang tidak kita suka dan tidak sepantasnyaCobalah untuk mengungkapkan pendapat atau keberatan kamu kepada pasangan dengan cara yang tepat. Beritahu dengan tenang perilaku yang seperti apa yang tidak kamu sukai beserta alasannya. Setelah itu ungkapkan harapanmu terhadap pacar. Harus sama-sama kita ingat bahwa kita bertanggung jawab atas diri kita sendiri. Perilaku yang dipaksakan oleh orang lain dan memiliki konsekuensi negatif seharusnya tidak kita lakukan. Dengan berani bersikap, kita juga memiliki kontrol atas diri kita sendiri dan tidak cenderung didominasi oleh pasangan.
- Mencari dukungan sosial dari pihak yang dipercaya jika perilaku pasangan mulai membuat kita ketakutan.Kekerasan secara psikis biasanya lebih sulit diketahui oleh orang lain karena dampaknya tidak mudah terlihat. Bagi teman-teman yang menyadari perilaku pasangan mulai mengganggu atau mengancam diri, cobalah untuk berkomunikasi secara terbuka pada pihak yang dapat dipercaya seperti orang tua atau sahabat. Hal ini bisa membantu kita mendapatkan masukan mengenai apa yang harus dilakukan. Jika merasa bahwa dampak yang dialami sudah semakin parah dan teman-teman merasa butuh cerita ke pihak yang lebih ahli, maka teman-teman dapat mendatangi psikolog untuk konseling.
- Evaluasi kelanjutan hubungan pacaran.Hubungan yang sehat adalah hubungan yang terbuka, setara (tidak ada yang mendominasi), saling mendukung, serta membuat individu berbahagia. Jika teman-teman ternyata masuk ke dalam hubungan yang rentan dengan kekerasan dan masih ragu untuk memutuskan apakah hubungan harus diteruskan atau tidak, tanyakan hal-hal berikut ini kepada diri: Apakah hubungan yang didasari cinta harus mendatangkan ketakutan pada diri kamu? Apakah normal jika kamu terus menangis atau sedih karena perilaku yang dilakukan pasangan? Apakah pantas jika pasangan membuatmu merasa rendah diri? Apakah yang dilakukan pasangan merupakan perilaku yang didasari rasa cinta? Jika kebanyakan jawaban adalah TIDAK, maka teman-teman tidak perlu khawatir untuk berhenti dalam hubungan tersebut. Ingat bahwa kita punya hak untuk menjadi bahagia dan kekerasan bukan hal yang pantas dilakukan di dalam sebuah hubungan.
Tahun 2014, Komisi Nasional Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menerima sekitar 800 laporan mengenai kekerasan terhadap perempuan dalam wilayah pribadi, 59 diantaranya terjadi dalam perkawinan, 21 persen dalam hubungan pacaran dan 20 persen terhadap anak-anak. Sisanya adalah kekerasan oleh mantan pacar, mantan suami dan terhadap pembantu rumah tangga. Angka ini, tentu saja, hanya mewakili puncak gunung es.
Gabungan berbagai faktor telah memicu peningkatan jumlah kekerasan dalam berpacaran, diantaranya fakta bahwa teman-teman tidak melakukan intervensi, masyarakat Indonesia yang umumnya masih patriarkal, dan sistem hukum yang tidak berpihak pada korban.
Ragam wajah kekerasan
Komisioner Komnas Perempuan Mariana Amiruddin mengatakan, kekerasan dalam pacaran terjadi karena cinta masih dianggap sebagai kepemilikan dalam budaya Indonesia. Selain itu, banyak orang Indonesia yang tidak sadar akan hak-hak hukum dan pribadi mereka.
“Banyak orang tahu apa yang benar dan apa yang seharusnya mereka lakukan, namun mereka tidak tahu hak-hak mereka,” ujar Mariana dalam sebuah seminar mengenai kekerasan dalam pacaran, yang diadakan baru-baru ini oleh Yayasan Pulih di Universitas Indonesia (UI).
Hal-hal sederhana seperti privasi, misalnya, dianggap remeh. Banyak orang Indonesia tidak menganggap pengecekan secara diam-diam atas telepon atau surat elektronik pacar atau peretasan akun Facebook mereka sebagai bentuk kekerasan.
Cemburu ekstrem, posesif dan rasa tidak aman dianggap sebagai ekspresi cinta. Merendahkan pacar atau mempermalukannya di depan umum tidak dilihat sebagai bentuk penyiksaan, demikian juga mengisolasi pasangan dari keluarga atau teman-temannya. (Untuk informasi lebih lanjut mengenai bentuk-bentuk kekerasan/penyiksaan, lihat infografis di bawah ini). Bagi sebagian besar orang Indonesia, penyiksaan itu terjadi hanya jika ada kekerasan fisik.
“Tujuan dari kekerasan dalam pacaran adalah untuk menanamkan kontrol,” ujar Angesty Putri Ageng, psikolog sukarela di Yayasan Pulih, yang memberikan konseling dan bantuan litigasi untuk para korban kekerasan.
“Biasanya ada pola untuk perilaku kekerasan. Pertama, periode ledakan ketika kekerasan fisik, emosional, verbal atau seksual terjadi; diikuti dengan masa bulan madu ketika pelaku meminta maaf, menyalahkan kekerasan yang dilakukannya terhadap hal lain dan berjanji berubah.”
Seringkali para korban tidak dapat membedakan antara perilaku romantis dan posesif.
Selain itu, dalam sebuah budaya yang masih menganggap keperawanan hal yang sakral, hubungan seksual pra-pernikahan dianggap sebagai bukti cinta dan kepercayaan. Tapi bagi perempuan muda, hubungan seksual seringkali terkait dengan pemerasan emosional, misalnya dengan perkataan: “Jika kamu berbuat baik pada saya, saya akan menikahimu, tapi jika kamu tidak melakukan apa yang saya katakan, saya akan meninggalkanmu dan memberitahu semua orang bahwa kamu sudah tidak perawan lagi.”
Kekerasan dalam pacaran tidak hanya terjadi pada remaja, namun juga orang dewasa. Namun bagi remaja, faktor biologis berperan besar karena otak mereka belum sepenuhnya berkembang.
Menurut Melia Christo, dosen di Fakultas Psikologi UI: “Dalam otak remaja, amygdala yang mengatur emosi berkembang lebih cepat dibandingkan pre-frontal cortex yang mengatur fungsi eksekutif. Karena bagian korteks tersebut belum berkembang penuh, hal ini mengarah pada perilaku berisiko. Mereka masih yakin dalam ‘dongeng pribadi’ mereka, mereka tidak akan menderita konsekuensi-konsekuensi yang mereka lakukan, sehingga terjadilah hal-hal seperti hubungan seks tidak aman.”
Periode lanjut masa remaja atau awal 20an adalah juga masa ketika banyak laki-laki dan perempuan muda bergulat dengan isu kepercayaan diri atas citra tubuh dan kebingungan akan peran gender, seperti bagaimana menjadi pasangan yang baik, dan bagaimana menjadi perempuan dan laki-laki ideal.
Konstruksi gender tradisional kita juga memainkan peran besar. Kristi Poerwandari, psikolog dan profesor studi gender di UI, mengatakan, pria cenderung melihat emosi seperti takut, malu dan sedih sebagai feminin, sehingga ketika mereka merasa takut atau terancam, emosi itu secara mudah bergeser menjadi kemarahan, yang dianggap sebagai maskulin.
Ironinya adalah pria lebih mungkin mengalami kekerasan dibandingkan perempuan, ujar Kristi. Anak laki-laki lebih mungkin dipukuli oleh orangtua mereka dan secara fisik di-bully oleh teman sebayanya. Hal ini menjelaskan mengapa sulit bagi laki-laki untuk menemukan solusi atas masalah tanpa melibatkan kekerasan.
Dalam hubungan yang tidak setara, pria merasa berhak menuntut pasangannya memenuhi kebutuhannya. Jika si perempuan pernah melakukan hubungan seks sebelumnya, ia akan menuntut hal yang sama.
“Persepsinya adalah bahwa perempuan yang 'tidak baik-baik’ dapat diperlakukan seenaknya. Dan dalam kasus kekerasan, pelaku seringkali menyalahkan korban, atau meminimalisir dampak kekerasan, atau bahkan menganggap diri sebagai korban,” ujarnya.
“Banyak orang tahu apa yang benar dan apa yang seharusnya mereka lakukan, namun mereka tidak tahu hak-hak mereka,” ujar Mariana dalam sebuah seminar mengenai kekerasan dalam pacaran, yang diadakan baru-baru ini oleh Yayasan Pulih di Universitas Indonesia (UI).
Hal-hal sederhana seperti privasi, misalnya, dianggap remeh. Banyak orang Indonesia tidak menganggap pengecekan secara diam-diam atas telepon atau surat elektronik pacar atau peretasan akun Facebook mereka sebagai bentuk kekerasan.
Cemburu ekstrem, posesif dan rasa tidak aman dianggap sebagai ekspresi cinta. Merendahkan pacar atau mempermalukannya di depan umum tidak dilihat sebagai bentuk penyiksaan, demikian juga mengisolasi pasangan dari keluarga atau teman-temannya. (Untuk informasi lebih lanjut mengenai bentuk-bentuk kekerasan/penyiksaan, lihat infografis di bawah ini). Bagi sebagian besar orang Indonesia, penyiksaan itu terjadi hanya jika ada kekerasan fisik.
“Tujuan dari kekerasan dalam pacaran adalah untuk menanamkan kontrol,” ujar Angesty Putri Ageng, psikolog sukarela di Yayasan Pulih, yang memberikan konseling dan bantuan litigasi untuk para korban kekerasan.
“Biasanya ada pola untuk perilaku kekerasan. Pertama, periode ledakan ketika kekerasan fisik, emosional, verbal atau seksual terjadi; diikuti dengan masa bulan madu ketika pelaku meminta maaf, menyalahkan kekerasan yang dilakukannya terhadap hal lain dan berjanji berubah.”
Seringkali para korban tidak dapat membedakan antara perilaku romantis dan posesif.
Selain itu, dalam sebuah budaya yang masih menganggap keperawanan hal yang sakral, hubungan seksual pra-pernikahan dianggap sebagai bukti cinta dan kepercayaan. Tapi bagi perempuan muda, hubungan seksual seringkali terkait dengan pemerasan emosional, misalnya dengan perkataan: “Jika kamu berbuat baik pada saya, saya akan menikahimu, tapi jika kamu tidak melakukan apa yang saya katakan, saya akan meninggalkanmu dan memberitahu semua orang bahwa kamu sudah tidak perawan lagi.”
Kekerasan dalam pacaran tidak hanya terjadi pada remaja, namun juga orang dewasa. Namun bagi remaja, faktor biologis berperan besar karena otak mereka belum sepenuhnya berkembang.
Menurut Melia Christo, dosen di Fakultas Psikologi UI: “Dalam otak remaja, amygdala yang mengatur emosi berkembang lebih cepat dibandingkan pre-frontal cortex yang mengatur fungsi eksekutif. Karena bagian korteks tersebut belum berkembang penuh, hal ini mengarah pada perilaku berisiko. Mereka masih yakin dalam ‘dongeng pribadi’ mereka, mereka tidak akan menderita konsekuensi-konsekuensi yang mereka lakukan, sehingga terjadilah hal-hal seperti hubungan seks tidak aman.”
Periode lanjut masa remaja atau awal 20an adalah juga masa ketika banyak laki-laki dan perempuan muda bergulat dengan isu kepercayaan diri atas citra tubuh dan kebingungan akan peran gender, seperti bagaimana menjadi pasangan yang baik, dan bagaimana menjadi perempuan dan laki-laki ideal.
Konstruksi gender tradisional kita juga memainkan peran besar. Kristi Poerwandari, psikolog dan profesor studi gender di UI, mengatakan, pria cenderung melihat emosi seperti takut, malu dan sedih sebagai feminin, sehingga ketika mereka merasa takut atau terancam, emosi itu secara mudah bergeser menjadi kemarahan, yang dianggap sebagai maskulin.
Ironinya adalah pria lebih mungkin mengalami kekerasan dibandingkan perempuan, ujar Kristi. Anak laki-laki lebih mungkin dipukuli oleh orangtua mereka dan secara fisik di-bully oleh teman sebayanya. Hal ini menjelaskan mengapa sulit bagi laki-laki untuk menemukan solusi atas masalah tanpa melibatkan kekerasan.
Dalam hubungan yang tidak setara, pria merasa berhak menuntut pasangannya memenuhi kebutuhannya. Jika si perempuan pernah melakukan hubungan seks sebelumnya, ia akan menuntut hal yang sama.
“Persepsinya adalah bahwa perempuan yang 'tidak baik-baik’ dapat diperlakukan seenaknya. Dan dalam kasus kekerasan, pelaku seringkali menyalahkan korban, atau meminimalisir dampak kekerasan, atau bahkan menganggap diri sebagai korban,” ujarnya.
Cari pertolongan
Ada beberapa tempat bagi korban kekerasan untuk mencari pertolongan. Beberapa rumah sakit, seperti Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo di Jakarta, memiliki pusat-pusat layanan terintegrasi untuk perempuan dan anak-anak, dan beberapa kantor polisi menyediakan layanan khusus untuk melaporkan kasus kekerasan.
Namun kurangnya kapasitas sumber daya manusia dalam menangani kekerasan dalam pacaran masih nyata terlihat. Sebagian besar penegak hukum praktis tidak memiliki perspektif kesetaraan gender.
“Biasanya petugas pria yang melakukan pemeriksaan dan sayangnya, mereka cenderung bias budaya dan melihat perempuan lebih rendah daripada laki-laki,” ujar Melia.
Hal ini membuat penanganan kasus-kasus kekerasan bersifat ceroboh, sehingga korban tidak diberi perlindungan yang dibutuhkan dan bahkan dipersalahkan atas kekerasan yang terjadi. Bias agama merupakan sebagian dari akar permasalahan karena melihat hubungan pra-nikah sebagai dosa.
“Ada orang-orang yang menganggap hubungan pra-nikah terlarang karena merupakan zinah,” ujar Mariana.
“Dalam kasus-kasus pemerkosaan, perempuan ditanya oleh para hakim, ‘Pakaian seperti apa yang kamu kenakan? Apakah kamu menikmati hubungan seks?’ Para siswi atau mahasiswi yang hamil karena seks pra-nikah dipersalahkan karena merayu laki-laki. Dalam kenyataannya, banyak perempuan muda yang melaporkan kekerasan seksual pada kita bersifat pemalu dan sangat penakut,” tambahnya.
Situasi ini diperburuk dengan tidak adanya aturan mengenai kekerasan dalam pacaran. Meski ada undang-undang mengenai kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan terhadap anak-anak, sebagian besar korban kekerasan dalam pacaran kesulitan mendapatkan keadilan karena tidak ada undang-undang mengenai kekerasan yang terjadi dalam hubungan non-pernikahan.
Ratna Batara Munti, Direktur Lembaga Bantuan Hukum - Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK), yang memberikan konseling hukum bagi perempuan korban, mengatakan: “Tidak ada lex specialis (hukum yang mengatur hal khusus) mengenai kekerasan dalam pacaran. Secara teori, kekerasan dalam pacaran dapat dibawa ke pengadilan menggunakan beberapa pasal Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), tapi pembuktian gugatan merupakan tantangan, terutama dengan adanya bias personal dari mereka yang ada di dalam sistem peradilan.”
Menyeret kasus kekerasan seksual atau pemerkosaan ke pengadilan terutama sulit. Berdasarkan undang-undang di Indonesia, kasus pemerkosaan harus diverifikasi oleh dua saksi, termasuk korban pemerkosaan. Menemukan saksi lain dalam kasus pemerkosaan hampir mustahil. Dalam kasus kekerasan dalam pacaran, sejarah seksual pasangan tersebut sering digunakan untuk menepis gugatan korban.
“Petugas penegakan hukum enggan memproses kasus-kasus tersebut dan seringkali menyimpulkan bahwa kekerasan seksual atau pemerkosaan adalah tindakan seksual yang konseksual. Seringkali kita sebagai pendamping sukarela untuk para korban dibebani tugas mencari bukti, pekerjaan yang seharusnya dilakukan oleh penegak hukum,” ujar Ratna.
Dalam banyak kasus, solusi untuk kekerasan dalam pacaran, khususnya yang melibatkan kekerasan seksual, adalah pernikahan, terutama untuk menyelamatkan nama keluarga, tetapi hal ini semakin mengorbankan keamanan perempuan.
Namun masih ada harapan. Angesty mengatakan sistem pengadilan Indonesia semakin terbuka menerima testimoni psikolog sebagai saksi ahli, terutama dalam kekerasan seksual dan psikologis. Yayasan Pulih menyediakan psikolog sukarela untuk konseling bagi korban kekerasan, serta menyediakan saksi ahli dalam kasus-kasus kekerasan.
“Psikolog memiliki peran bernilai di Yayasan Pulih, kami selalu memerlukan mereka terutama dalam kasus-kasus kekerasan seksual. Kami memberikan mereka pelatihan gratis, bekerja sama dengan APIK,” tambahnya.
Yang harus dilakukan
Jika kamu korban kekerasan dalam pacaran, berikut adalah hal-hal yang dapat dilakukan:
Ada beberapa tempat bagi korban kekerasan untuk mencari pertolongan. Beberapa rumah sakit, seperti Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo di Jakarta, memiliki pusat-pusat layanan terintegrasi untuk perempuan dan anak-anak, dan beberapa kantor polisi menyediakan layanan khusus untuk melaporkan kasus kekerasan.
Namun kurangnya kapasitas sumber daya manusia dalam menangani kekerasan dalam pacaran masih nyata terlihat. Sebagian besar penegak hukum praktis tidak memiliki perspektif kesetaraan gender.
“Biasanya petugas pria yang melakukan pemeriksaan dan sayangnya, mereka cenderung bias budaya dan melihat perempuan lebih rendah daripada laki-laki,” ujar Melia.
Hal ini membuat penanganan kasus-kasus kekerasan bersifat ceroboh, sehingga korban tidak diberi perlindungan yang dibutuhkan dan bahkan dipersalahkan atas kekerasan yang terjadi. Bias agama merupakan sebagian dari akar permasalahan karena melihat hubungan pra-nikah sebagai dosa.
“Ada orang-orang yang menganggap hubungan pra-nikah terlarang karena merupakan zinah,” ujar Mariana.
“Dalam kasus-kasus pemerkosaan, perempuan ditanya oleh para hakim, ‘Pakaian seperti apa yang kamu kenakan? Apakah kamu menikmati hubungan seks?’ Para siswi atau mahasiswi yang hamil karena seks pra-nikah dipersalahkan karena merayu laki-laki. Dalam kenyataannya, banyak perempuan muda yang melaporkan kekerasan seksual pada kita bersifat pemalu dan sangat penakut,” tambahnya.
Situasi ini diperburuk dengan tidak adanya aturan mengenai kekerasan dalam pacaran. Meski ada undang-undang mengenai kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan terhadap anak-anak, sebagian besar korban kekerasan dalam pacaran kesulitan mendapatkan keadilan karena tidak ada undang-undang mengenai kekerasan yang terjadi dalam hubungan non-pernikahan.
Ratna Batara Munti, Direktur Lembaga Bantuan Hukum - Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK), yang memberikan konseling hukum bagi perempuan korban, mengatakan: “Tidak ada lex specialis (hukum yang mengatur hal khusus) mengenai kekerasan dalam pacaran. Secara teori, kekerasan dalam pacaran dapat dibawa ke pengadilan menggunakan beberapa pasal Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), tapi pembuktian gugatan merupakan tantangan, terutama dengan adanya bias personal dari mereka yang ada di dalam sistem peradilan.”
Menyeret kasus kekerasan seksual atau pemerkosaan ke pengadilan terutama sulit. Berdasarkan undang-undang di Indonesia, kasus pemerkosaan harus diverifikasi oleh dua saksi, termasuk korban pemerkosaan. Menemukan saksi lain dalam kasus pemerkosaan hampir mustahil. Dalam kasus kekerasan dalam pacaran, sejarah seksual pasangan tersebut sering digunakan untuk menepis gugatan korban.
“Petugas penegakan hukum enggan memproses kasus-kasus tersebut dan seringkali menyimpulkan bahwa kekerasan seksual atau pemerkosaan adalah tindakan seksual yang konseksual. Seringkali kita sebagai pendamping sukarela untuk para korban dibebani tugas mencari bukti, pekerjaan yang seharusnya dilakukan oleh penegak hukum,” ujar Ratna.
Dalam banyak kasus, solusi untuk kekerasan dalam pacaran, khususnya yang melibatkan kekerasan seksual, adalah pernikahan, terutama untuk menyelamatkan nama keluarga, tetapi hal ini semakin mengorbankan keamanan perempuan.
Namun masih ada harapan. Angesty mengatakan sistem pengadilan Indonesia semakin terbuka menerima testimoni psikolog sebagai saksi ahli, terutama dalam kekerasan seksual dan psikologis. Yayasan Pulih menyediakan psikolog sukarela untuk konseling bagi korban kekerasan, serta menyediakan saksi ahli dalam kasus-kasus kekerasan.
“Psikolog memiliki peran bernilai di Yayasan Pulih, kami selalu memerlukan mereka terutama dalam kasus-kasus kekerasan seksual. Kami memberikan mereka pelatihan gratis, bekerja sama dengan APIK,” tambahnya.
Yang harus dilakukan
Jika kamu korban kekerasan dalam pacaran, berikut adalah hal-hal yang dapat dilakukan:
- Percayai insting sendiri bahwa ada yang tidak beres dengan hubungan.
- Perhatikan intensitas kekerasan: apakah semakin memburuk/meningkat seiring waktu?
- Luangkan waktu bersama orang-orang yang mempedulikanmu. Jangan hilang kontak dengan sahabat-sahabat terdekat.
- Lakukan aktivitas-aktivitas yang dinikmati untuk mempertahankan hal-hal positif dalam hidup.
- Cari informasi mengenai dukungan bagi para korban kekerasan di sekelilingmu. Ada tempat-tempat yang dapat memberikan bantuan seperti terlihat dalam daftar di sebelah kiri.
- Tanya apakah ada sesuatu yang salah dengan mereka. Jangan menunggu sampai mereka memberitahumu, karena saat itu terjadi kadang-kadang keadaan sudah terlambat.
- Perlihatkan kekhawatiranmu, jangan persalahkan mereka.
- Dengarkan dan tanya lagi untuk memastikan kita mendengar kisah mereka. Jangan paksa mereka untuk memberitahu, dan jangan mencoba menawarkan solusi.
- Beri mereka informasi dan tawarkan bantuan. Jangan beri mereka nasihat.
- Dukung keputusan mereka.
- Bicarakan dengan orang dewasa yang kamu percayai.
0 comments